Tajuk untuk penulisan kali ini bunyinya agak pelik. Cerita ini aku petik daripada Dewan Budaya September 1996 (ruangan segaris tinta :hlm 23). Bukan apa hanya untuk berkongsi dengan teman-teman untuk dijadikan renungan atau panduan hidup. Cerita ini adalah seperti di bawah:-
Di tempat tiada helang, kata belalang akulah helang.
"Barang di mana tempat yang tiada orang yang mengetahui atau tiada orang yang arif,maka orang yang bodoh pun mengaku dirinya pandai."
Arakian tersebutlah kisah di sebuah desa nun jauh di hujung negeri. Warganya hidup dalam serba mencukupi. Tiada yang perlu dirisaukan tentang hidup yang harus ditempuh dari hari ke hari. Tiada pernah kedengaran orang yang kelaparan, pokoknya semua perut sentiasa berisi.
Seisi desa itu hidup dalam kelompok sendiri. Tiada yang berpergian menjadi dagang senteri atau menjadi orang kuat negeri atau menjadi orang bijak berperi. Kebanyakannya hidup sebagai petani yang dari musim ke musim hanya berbakti kepada bumi yang selalu diharapkan dari situlah melimpahnya rezeki untuk menjadi mata pencarian demi sesuap nasi anak-anak dan isteri.
Hendak dijadikan cerita, maka terjadilah bencana yang tidak pernah diundang. Banjir memusnahkan padi di bendang, menghapuskan kerbau dan kambing di kandang, merenggut segala yang disayang, hatta nyawa manusia pun ada yang melayang. Tidak pernah terjadi bencana sedemikian malang. Namun itulah sejarah yang diharapkan oleh warga desa itu agar tidak berulang.
Maka sugul dan sedihlah setiap warga desa. Apa yang dapat diharapkan lagi pada yang tiada. Hendak menuai, dimana padinya ?Hendak menjual kerbau dan kambing dimanakah ternakannya ? Hendak menziarahi pusara yang terkorban dalam banjir besar dimanakah pusaranya ?
Maka berpakatlah ketua desa dengan anak-anak buahnya, mencari akal untuk cuba menghindar agar banjir besar itu tidak berulang lagi. Diputuskanlah permuafakatan itu bahawa perlu dicari orang luar yang pandai untuk mengatasi masalah itu. Sesudah mencapai kata sepakat tampillah seorang lelaki separuh baya,warga desa itu juga.
"Usahlah membuang masa dan tenaga untuk mencari orang luar membantu kita." kata lelaki itu. "Di desa kita ini tidak kurang dengan orang yang mampu mengatasi masalah itu."
"Siapa ?" tanya ketua desa.
Dengan megah lelaki itu pun berkata, "Hamba sanggup berikhtiar. Usahlah Tuk Ketua dan warga desa menaruh curiga terhadap hamba. Hamba tahu bagaimana banjir itu dapat kita atasi.Hamba sebenarnya mempunyai pengetahuan tentang hal ini. Cuma selama ini hamba sengaja berahsia."
Tuk Ketua dan warga desa pun tersenyum ceria, percaya bahawa lelaki separuh baya itu memang hebat orangnya.
Maka seluruh warga desa pun mengerah tenaga menebang pohon-pohon sasa di puncak dan di kaki bukit untuk dijadikan benteng di tebing sungai. Berpekan-pekan lamanya mereka berganding bahu melakukan seperti yang disarankan oleh lelaki separuh baya itu. Maka selesailah sudah pekerjaan itu, terbinalah benteng atau tembok di tebing sungai setinggi orang dewasa.
Selang beberapa bulan kemudian tibalah musim hujan. Berhari-hari turunnya tidak berhenti-henti. Air dari bukit meluncur laju ke arah sungai, bertali arus, tidak dapat ditahan-tahankan lagi. Dalam waktu yang singkat sahaja desa itu ditenggelami air, lebih parah daripada banjir besar yang melanda musim lalu. Warga desa kelam-kabut, segera menyelamatkan diri ke desa seberang. Mereka menumpang di desa itu.
"Hamba dan seisi desa ini berasa sedih dengan musibah yang menimpa desa tuan hamba," kata ketua desa seberang. "Mengapa ditebang pohon sasa di puncak dan kaki bukit itu semata-mata untuk dijadikan benteng penahan banjir ? Bukankah elok kalau sungai di tempat tuan hamba itu digali lebih dalam agar dapat menampung air yang lebih banyak ? Sepatutnya perkara ini harus dibawa berunding dengan orang yang arif, bukan dibawa berunding dengan orang yang mengaku bijak walhal sebenarnya dia cuma belalang yang menjadi helang di tempat yang sememangnya tiada helang."
Renung-renunglah ceritera ini untuk dijadikan kitab hidup kita.
Wassalam.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan